A.SEJARAH SUTERA
Sengkang
yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari
Makassar Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota
niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan
hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain dan kain sarung
bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika
dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Sengkang
menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di
Sulawesi Selatan.
Disamping
dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera menjadikan ibukota Kabupaten Wajo
semakin akrab ditelinga dan hati orang-orang yang pernah berkunjung ke kota
ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung sutera Sengkang sudah sedemikian
dikenal bahkan hingga kemancanegara.
Menengok ke
masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola persuteraan sudah
dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun
dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri menegah.
Hampir
disetiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari
kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga
proses pemintalah menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain
sutera.
Dalam bahasa
lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe", dimana dalam proses
pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya
masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan
berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong"
(bergaris atau tegak), motif ("Makkalu" (melingkar), motif
"mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak
kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan
"Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan
sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.
Melihat
Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965 seorang tokoh perempuan
yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua" Wajo yaitu Datu Hj.
Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru
dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai SIlk) dalam
skala besar.
Beliau juga
mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan
alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai
ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas
tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka
wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan
kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.
B.PENGEMBANGAN
PERSUTERAAN DI KABUPATEN WAJO
Kegiatan
pengembangan persuteraan di Kabupaten Wajo dapat ditemui disemua Kecamatan yang
ada namun khusus dalam pengembangan persuteraan alam dan produksi benang sutera
terkonsentrasi di Kecamatan Sabbangparu dan daerah pengembangannya tersebar di
Kecamatan Pammana, Kecamatan Tempe, Kecamatan Bola, Kecamatan Gilireng, dan
Kecamatan Majauleng. Sedangkang sentra industri penenunan sutera terdapat
di Kecamatan Tanasitolo dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Tempe,
Kecamatan Majauleng, dan Kecamatan Pammana.
Kegiatan
pengembangan persuteraan baik Industri Hulu yang meliputi persuteraan alam
dengan penanaman Tanaman Murbey, Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori, sp),
dan produksi kokon serta Industri Hilir yang meliputi pemintalan benang sutera,
pertenunan kain sutera, hingga pengembangan deversifikasi produk asal sutera
dapat di jumpai di Kabupaten Wajo.
Latar
belakang orang Wajo yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi
berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan komoditas sutera
dengan berkreasi dan selalu mencara inovasi baru serta menciptakan berbagai
macam produk asal sutera bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan
pengusaha-pengusaha Pertekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer
ternama Indonesia.
C.PENGEMBANGAN
TANAMAN MURBEY
Tanaman
Murbey (Morus, sp) adalah tanaman yang merupakan tanaman utaman dalam
pemeliharaan ulat sutera sehingga keberadaan mutlak dibutuhkan dalam kegiatan
persuteraan alam pemeliharaan ulat sutera. Penanaman Murbey yang sentra
pengembangannya ditemui di Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Gilireng dan
Kecamatan Takkalalla hingga saat menempati luas lahan sekitar 240 hektar
menggunakan sistem penanaman berupa pertanaman murni, pertanaman tumpang sari,
dan tanaman pekarangan.
Jika
diasumsikan produksi 140 ton daun murbey per hektar maka lahan Tanaman Murbey
di Kabupaten Wajo potensi produksinya bisa mencapai 33.600 ton daun Murbey dan
dapat memenuhi pemeliharaan 48.000 box telur ulat sutera. Adapun Jenis Species
Tanaman Murbey yang dikembangkan meliputi Morus nigra, Morus cathayana, Morus
alba, Morus multicaulis, Kanva dan S 54.
Tanaman
Murbey di Kabupaten Wajo untuk jangka waktu yang akan datang dibutuhkan
pemikiran untuk dikembangkan bukan hanya terbatas sebagai bahan manakan ulat
sutera tetapi jauh lagi dilakukan deversifikasi penggunaannya sebagai Tanaman
Biofarmaka atau campuran bahan kosmetik, karena berdasarkan penelitian yang ada
(Mien Kaomini) menyatakan bahwa Murbey mengandung banyak bioaktif, daun mudanya
dapat dibuat sayur sehat yang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi,
memperbanyak ASI, mempertajam penglihatan, dan baik untuk pencernaan. Sedangkan
buahnya bermanfaat untuk memperkuat ginjal, meningkatkan sirkulasi darah,
mengatasi sembelit, dan orang Tiongkok percaya bahwa buah Murbey dapat
mempertajam pendengaran. Disamping itu kulit pohon Murbey dapat diracik sebagai
obat astma, muka bengkak, dan batuk serta akar pohon Murbey dapat direbus sebagai
penawar demam.
D.PRODUKSI KOKON
Kokon adalah
produk hasil pemeliharaan ulat sutera. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera
dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Hingga saat ini
produksi kokon yang mampu dihasilkan oleh pemeliharan ulat sutera di Kabupaten
Wajo berkisar dari 18-40 kg per box, atau sekitar 416.771 kg kokon pertahun.
Namun tantangan yang masih terjadi adalah mutu produk hasil kokok yang ada
masih tergolong rendah yang berdampak pada rendahnya harga jualnya sehingga
berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat
sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap
oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Oleh karena itu input
teknologi yang lebih maju dan pengembangan kapasitas petani dan kelembagaannya
perlu mendapat perhatian demi meningkatkan produksi dan kualitas kokon yang
dihasilkan dimasa yang akan datang.
E.INDUSTRI
PEMINTALAN dan penenunan SUTERA
Industri
pemintalan sutera di Kabupaten Wajo berkembang dalam beberapa tingkatan bila
dilihat dari operasionalnya yaitu menggunakan alat reeling dengan sistem
manual, semi mekanis, dan semi otomatis. Setidaknya terdapat 91 orang pengrajin
yang menggeluti usaha ini dengan mempekerjakan sekitar 822 orang tenaga kerja.
Dengan menggunakan alat mesin pemintal sebanyak 274 unit mereka mampu
menghasilkan benang sutera mentah belum siap tenun sebanyak 6.389 kg pertahun,
dan selanjutnya benang sutera tersebut harus melalui proses penggintiran
(twisting) lagi untuk mendapatkan benang sutera twist tenun. Industri
pertenunan sutera merupakan kegiatan yg paling banyak di geluti oleh pelaku persuteraan
di Kabupaten Wajo, Hal ini di latar belakangi oleh prodik kain setera yang di
hasilkan mempunyai nilai kegunaan yang di padukan dengan nilai estetika budaya
setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri
yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang ( lipa “
sabbe to sengkang = sarung sutera Sengkang). Dalam perkembangannya pengrajin
pertenunan Sutera bukan saja menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu
memproduksi produk kain lain seperti kain motif teksture dalam bentuk kain puth
dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan
bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk
sutera. Dalam proses
produksinya pengrajin lebih banyak menggunakan alat pertenunan tradisional alat
tenun bukan mesin (ATBM) dan pengembangannya, Namun melalui teknik inovasi dan
kerja keras yang di miliki pengrajin mampu menghasilkan Produk yang berkualitas
tinggi bahkan memiliki nilai di bandingkan dengan produk mesin dan alat
pertenunan moderen.
f.ALAT GEDOGAN
Alat tenun gedogan adalah alat tenun tradisional
sederhana yang di gerakkan oleh tangan. Alat ini tersebnar di pelosok di
pedesaan di Kabupaten Wajo dan biasanya di gunakan secara turun menurun oleh
para ibu-ibu rumah tangga dan para gadis desa. Hasil dari alat tenun gedogan
lebih banyak dalam bentuk kerajinan tenun sutera (lipa' sabbe)yang di kenal
dengan kerajinan tenun Sutera rumah tangga. Bertahannya
alat ini hingga sekarang di Bumi Lamakdukelleng Kabupaten Wajo, karena orang
Wajo meneladani kepiawaian mereka mempertahankan tradisi secara dinamis yakni
membuka diri ke arah perubahan tetap menjaga ciri khas Bugis Wajo, mereka
bersedia mengadopsi inovasi teknis yang di anggap berguna, dengan di landasi ketekunan
dan pantang
menyerah dengan perhatikan perkembangan pasar dan permintaan konsumen Beberapa
corak motif dan khas Wajo dan sarung sutera yang di hasilkan seperti : Bali
are, Balo Renni , Balo kette, cora subbi lobang, mappagiling, dan pucuk si
kadang.
g.ALAT TENUN
BUKAN MESIN(ATBM)
Alat tenun bukan mesin (ATBM) adalah semua bentuk
perlatan yang dapat membuat kain tenun di gerakkan oleh tenaga mesin melainkan
di gerakkan secara manual dengan tenaga manusia. ATBM di sebut juga alat tenun
model TIB berasal dari kata “ testile inrichting Bandung “, karena lembaga
inilah yang mula-mula menciptakan alat tenun ini di Indonesia sejak tahun 1912
.
ATBM pertama kali masuk dan di pergunakan di Kabupaten
Wajo pada tahun 1950an dimana pada awalnya hanya memproduksi kain sarung
samarinda. Seajak tahun 1980an mulai memproduksi sarung sutera dengan motif
balo tettong hingga dalam perkembangan selanjutnya ATBM bukan saja memproduksi
kain sutera tetapi lebih di kembangkan dengan memproduksi kain motif testure
polos, selendang, perlengkapan bahan pakian, asesoris rumah tangga,hotel,kantor
dan sebagainya berdasarkan permintaan pasar dan konsumen.
ATBM yang di lengkapi dengan 3 jenis alat berdasarkan
penggerak gun yang di gunakan dapat di memproduksi berbagai motif kain, yaitu :
*ATBM
Roll/Kerek (roda gila)yang di lengkapi dua pedal dan satu Roll dapat
menghasilkan kain dengan motif anyaman polos / plat dan turunannya.
*ATBM dobbi,
menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan turunannya serta
kain berlapis.
*ATBM
jakart/Jacquard, menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan
turunan serta jenis kain berlapis dengan variasi yang lebih komplit di
bandingkan ATBM dobbi.
h.PELUANG DAN
TANTANGAN PERSUTERAAN DI KABUPATEN WAJO
Sepanjang perjalanan persuteraan di kabuaten Wajo sdah
mengalami tantangan dan masa-masa sulit sebagaimana sektor usaha yang lainnya
namun karena prinsip yang selalu di pertahankan Oleh para pelaku persuteraan
yang di barengin dengan keuletan dan loyaritas memperthankan profesinya dengan
melakukan berbagai upaya pengembangan dan inovasi yang berguna menyebabkan
mereka mampu eksis hingga saat sekarang ini . Namun demikian bukanlah
permasalhan dalam menjalankan usahanya.
Berbagai permasalahan yang masih di jumpai yaitu diantaranya
masih belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha
persuteraan ; Belum tertatanya dngan baik pemasaran produk sutera utamanya
dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa sehingga sering menimbulkan
persaingan usaha yang tidak sehat; Belum adanya upaya maksimmal dalam
perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan design yang mengakibat kan
kerugian bagi pengrajin yang berorientasi terhadap bidanmg tersebut;
Sulitnya
mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya benang
produksi lokal sehingga membutuhkan upaya dari pihak yang berkompeten untuk
terus berupaya mengatasi hal tersebut; Belum adanya klasifikasi harga terhadap
produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera
yang di hasilkan Bebarapa pengusaha belum bisa mengembangkan usahanya lebih
luas karena kekurangan dana di sebabkan karena tingkat keyakinan perbankandan
lembaga pembiyaan lainnya unuk mendanai kegiatan persuteraan masih rendah; Masi
ada beberapa pengusaha atu penrajin yang belum konsistensi mempertahankan
kualitas produk yang di hasilkan dan hal-hal lain yang biasa di jumpai oleh
pengusaha atau pengrajin di bidang laiinya.
Melihat
tantangan permasalahan tersebut maka di perlukan upaya dari segenap stakeholder
persuteraan yang ada baik pengrajin atui pengusaha persuteraan maupun instansi
pemerintah dan lembaga pemberdayan lainnya untuk berkomitmen dalam mencari
solusi pemecahan permasalahan tersebut di atas dengan mengeutamakan kepentingan
persuteraan dan nama baik Kabupaten sebagia daerah penghasil produk sutera yang
berkualitas. Di sampng itu dengan penggambaran persuteraan di Kabupaten Wajo
dalam buku kecil ini di harapkan akn menjadi salah satu refensi bagi para
peminat atau investor yang akan melakukan kerja sama atau menjalin kemitraan de
ngan para pelaku kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo. Akhirnya dengan niat
dan komitmen dan kebersamaan untuk kepentingan kemajuan persuteraan di
Kabupaten Wajo di harapkan dapat meberikan kemashalahatan dan kontribusi peningkatan
dan kesejahteraan hidup masyarakat.
i.JENIS-JENIS ALAT TENUN
1. Alat tenun
Gedogan merupakan
alat tenun tradisional, pada bagian ujung dipasang pada pohon/tiang rumah atau
pada suatu bentangan papan dengan konstruksi tertentu dan bagian ujung lainnya
diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai.
2. Alat tenun
bukan mesin (ATBM) merupakan alat tenun yang digerakkan oleh injakan kaki untuk mengatur naik
turunnya benang lungsi pada waktu masuk keluarnya benang pakan, dipergunakan
sambil duduk di kursi.
3. ATBM Dobby , dobby
adalah alat tambahan mekanis yang berada di atas ATBM, Dobby berfungsi
mengontrol penganyaman benang pada perkakas tenun lain, sehingga membentuk
motif-motif sesuai dengan pola yang diinginkan.
j.RAGAM HIAS YANG TERDAPAT DALAM TENUN
1. Flora
2. Fauna
3. Geometris
4. Dekoratif
Sutra atau sutera merupakan serat protein alami yang
dapat ditenun menjadi tekstil. Jenis
sutra yang paling umum adalah sutra dari kepompong yang dihasilkan larva ulat sutra murbei (Bombyx mori) yang diternak (peternakan ulat itu disebut
serikultur). Sutra bertekstur mulus, lembut, namun tidak licin. Rupa berkilauan
yang menjadi daya tarik sutra berasal dari struktur seperti prisma segitiga
dalam serat tersebut yang membuat kain sutra dapat membiaskan cahaya dari
berbagai sudut.
Pemintalan
benang sutra dari kepompong ulat sutra.
"Sutra
liar" dihasilkan oleh ulat selain ulat sutra murbei dan dapat pula diolah. Berbagai sutra liar
dikenali dan digunakan di Cina, Asia Selatan, dan Eropa sejak dahulu, namun skala
produksinya selalu jauh lebih kecil daripada sutra ternakan. Sutra liar berbeda
dari sutra ternakan dari segi warna dan tekstur, serta kepompong liar yang
dikumpulkan biasanya sudah dirusak oleh ngengat yang keluar sebelum kepompong
tersebut diambil, sehingga benang sutra yang membentuk kepompong itu sudah terputus menjadi pendek. Ulat
sutra ternakan dibunuh dengan dicelup ke dalam air mendidih sebelum keluarnya
ngengat dewasa, atau ditusuk dengan jarum, sehingga seluruh kepompong dapat diurai
menjadi sehelai benang yang tak terputus. Ini membuat sutra bisa ditenun
menjadi kain yang lebih kuat. Sutra liar biasanya juga lebih sukar dicelup
warna daripada sutra ternakan.
Empat jenis ngengat sutra ternakan yang terpenting.
Sutra juga
dihasilkan oleh beberapa jenis serangga lain, namun hanya jenis sutra dari ulat
sutra yang digunakan untuk pembuatan tekstil. Pernah juga dijalankan kajian
terhadap sutra-sutra lain yang menampakkan perbedaan dari aspek molekul. Sutra
dihasilkan terutama oleh larva serangga yang bermetamorfosis lengkap, tetapi juga dihasilkan
oleh beberapa serangga dewasa seperti Embioptera. Produksi sutra juga kerap dijumpai khususnya pada
serangga ordo hymenoptera (lebah, tabuhan, dan semut), dan kadang kala digunakan untuk
membuat sarang. Jenis-jenis arthropoda yang lain juga menghasilkan sutra,
terutama arachnida seperti laba-laba.
Lipa sa’bbe/sarung bugis
Kain tradisional Bugis yang berupa
sarung ini memiliki corak garis-garis yang cantik, dan terbuat dari sutra yang
diproduksi oleh masyarakat bugis sendiri. Masyarakat Bugis dari desa Tajuncu di
Sulawesi Selatan sudah menggunakan cara modern dalam pengembangbiakan ulat
sutra, untuk memenuhi kebutuhan benang para penenun di desa Sempange, Sengkang
yang merupakan pusat pembuatan kain tenun di Sulawesi Selatan.
Menurut
legenda, masyarakat Bugis percaya bahwa keterampilan menenun nenek moyang
masyarakat Bugis diilhami oleh sehelai sarung yang ditinggalkan oleh para dewa
di pinggir danau Tempe. Dan di desa-desa yang terletak di pinggiran danau Tempe
itulah kain tenun Bugis yang sangat bagus itu dibuat.
Bahan sandang pada masa lampau, tidak pernah bisa lepas dari fungsi sebagai pelengkap kebutuhan budaya. Ini pula yang terjadi pada kain sarung Bugis. Selain menjadi pakaian sehari-hari, kain sarung Bugis, digunakan untuk kelengkapan upacara yang bersifat sakral, juga sebagai hadiah untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki.
Corak kain sarung Bugis ada beberapa macam, di antaranya adalah corak kotak-kotak kecil yang disebut balo renni. Sementara itu, corak kotak-kotak besar seperti kain tartan Skotlandia, diberi nama balo lobang. Selain corak kotak-kotak, terdapat pula corak zig-zag yang diberi nama corak bombang. Corak ini menggambarkan gelombang lautan. Pola zig-zag ini dapat diterapkan di seluruh permukaan sarung atau di bagian kepala sarung saja, adapun bagian kepala sarung justru terletak di area tengah sarung, dan sering juga corak bombang ini digabungkan dengan corak kotak-kotak.
Selain corak-corak tersebut, ada pula pola kembang besar yang disebut sarung Samarinda. Meskipun Samarinda berada di Kalimantan Timur, rupanya, kebudayaan menenun sarung di Samarinda, dibawa oleh masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kerajaan Kutai Kartanegara akibat perjanjian Bungaja antara Kerajaan Gowa dan Belanda sekitar abad ke-16. Dan orang Bugis pendatang itulah yang mengembangkan corak asli tenun Bugis, menjadi tenun Samarinda, yang kemudian malah memperkaya seni kain tradisional Bugis.
Bahan sandang pada masa lampau, tidak pernah bisa lepas dari fungsi sebagai pelengkap kebutuhan budaya. Ini pula yang terjadi pada kain sarung Bugis. Selain menjadi pakaian sehari-hari, kain sarung Bugis, digunakan untuk kelengkapan upacara yang bersifat sakral, juga sebagai hadiah untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki.
Corak kain sarung Bugis ada beberapa macam, di antaranya adalah corak kotak-kotak kecil yang disebut balo renni. Sementara itu, corak kotak-kotak besar seperti kain tartan Skotlandia, diberi nama balo lobang. Selain corak kotak-kotak, terdapat pula corak zig-zag yang diberi nama corak bombang. Corak ini menggambarkan gelombang lautan. Pola zig-zag ini dapat diterapkan di seluruh permukaan sarung atau di bagian kepala sarung saja, adapun bagian kepala sarung justru terletak di area tengah sarung, dan sering juga corak bombang ini digabungkan dengan corak kotak-kotak.
Selain corak-corak tersebut, ada pula pola kembang besar yang disebut sarung Samarinda. Meskipun Samarinda berada di Kalimantan Timur, rupanya, kebudayaan menenun sarung di Samarinda, dibawa oleh masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kerajaan Kutai Kartanegara akibat perjanjian Bungaja antara Kerajaan Gowa dan Belanda sekitar abad ke-16. Dan orang Bugis pendatang itulah yang mengembangkan corak asli tenun Bugis, menjadi tenun Samarinda, yang kemudian malah memperkaya seni kain tradisional Bugis.
Komentar
Posting Komentar