Putih
dalam
Hitam
Sewaktu kecil aku adalah
orang yang penakut.Aku tidak berani menghadapi orang, tidak berani dengan
segala macam binatang, tidak berani sama hantu, tidak berani sama laut, dan
masih banyak lagi. Dan aku juga sering berperasangka buruk pada orang lain
Angkot itu kendaraan umum
favorit ku dan teman-temanku. Kerumah teman naik angkot, kepasar naik angkot,
sekolah naik angkot, bahkan mimpi pun naik angkot. Dan juga aku ingat dulu aku
pernah punya pengalaman buruk waktu saat pertama kali naik angkot. Waktu itu
sepulang dari menonton pameran siswa yang biasa diadakan di kota Sengkang ini.
Sepulang dari itu aku diajak temanku Udin untuk pulang naik angkot. “ayo mad
ikut angkotnya bapak ku aja.” Karena sudah diajak begitu tidak mungkinlah nolak
kan soalnya lumayan banget bisa ceaet sampe rumah dan gratisan lagi. Tapi
karena gengsi tidak mau keliatan seperti orang yang cari gratisan doang jadi ku
bilang “hmmm anu, aku kayanya lebih enak jalan sajalah.” Dan aku berharap dia menahan.
Dan rencana ku itu berhasil setelah mendengar dia bilang “jangan mad rumah kamu
jauh dari sini, kebetulan bapak ku lewat rumah kamu.” Akupun tertawa girang
dalam hati dan menerima tawarannya,dan akhirnya naik angkot dengan penuh
wibawa.
Perjalanan pun dimulai dan
aku merasa canggung, apalagi pada saat Udin turun dari angkot karena sudah
mencapai tujuannya. Ditengah perjalanan aku hanya bisa diam karena ini pertama
kali aku bertemu dengan bapaknya si
Udin. Tanpa terasa aku sudah dekat pada tempat tujuan. Banyak pikiran di
kepalaku, apakah aku harus bilang stop dan turun dari angkot atau aku harus
diam dan ikut kemanapun angkot itu pergi. Dan karena aku dulu itu penakut jadi
aku pilih diam saja dan melewati tempat tujuan awalku.
“waduh, rumah sudah lewat bagaimana nih?” dalam hati aku jadi bingung suasana hati jadi tak menentu jadinya. Tiba tiba bapaknya Udin pun membuka mulutnya dan mengatakan “Rumah kamu dimana”? Dalam hatiku,” Mampusss sudah, harus bilang apa ini, enggak keren banget kalo aku bilang kelewatan tapi kalo bilang masih jauh bisa jadi tambah jauh perjalanan pulangnya nanti” Jadi dengan senyum polos aku bilang “Sudah kelewatan om.” Bapaknya Udin pun langsung melanjutkan pembicaraan dengan logat seperti orang ingin marah “Kenapa kamu enggak bilang, untung sama saya kamu naiknya coba kalau sopirnya bukan saya, bisa bisa kamu diculik.” aku sudah merasa dia culik. Sumpah mukanya kejam seperti penculik yang haus darah habis ngebunuh puluhan orang yang menjadi penumpangnya. Dan akhirnya dia mebawa ku sampai tempat peristirahatannya, dia keluar dari mobil dan meninggalkanku dimobil sendirian. Gawat nih, dia pasti ngerencanain sesuatu dengan teman temannya untuk meminta tebusan sama orang tuaku. Apa aku harus kabur dan minta tolong dengan warga sekitar? Tapi sayang aku tidak punya keberanian untuk ngelakuin hal itu.
Tiba tiba aku dikagetkan dengan suara “kamu bawa uang nda”? kata bapaknya Udin. Nah kalo aku bilang tidak, aku bisa dibunuh lalu dibuang kesemak semak ni pikirku. Lalu aku bilang bawa dan langsung mengeluarkan selembar seribu rupiah dari kantong ku. Dia pun mengambilnya lalu pergi lagi. Ya Allah tolong saya ya Allah doa ku dari lubuk hati paling dalam dan orang itu pun muncul lagi dengan wajah sadisnya dengan membawa bakwan lalu dia mengatakan “Ini makan dulu” aku pun langsung mengambil dan memakannya karena memang sudah kelaparan seperti pengemis yang sudah 3 hari makan.Perjalanan pun dimulai lagi dan kali ini di perjalanan kembali aku hanya bisa diam dan dia mengingatkanku, aku pun hanya bisa tersenyum manis didepannya yang berwajah galak namun memang hatinya baik, mungkin jika hatinya itu dapat berwarna mungkin hatinya berwarna putih mungkin ya,hahaha.
Komentar
Posting Komentar