WEWENANG PEMERINTAH DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG SEBELUM DAN SETELAH DEKRIT 5 JULI 1959, DAN SETELAH REFORMASI
WEWENANG PEMERINTAH DALAM PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG SEBELUM DEKRIT 5 JULI 1959
B. Konstituante
Konstituante adalah lembaga
negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar atau
konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini
diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950. Kelahiran Dewan Konstituante dilandasi
oleh suatu pemikiran bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang disahkan
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950 itu berpredikat
sementara, hal ini tertera dalam konsiderans “Menimbang” dari Undang-Undang
dimaksud. Oleh karena itu perlu adanya suatu Badan yang menggarap dan menyusun
Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante beranggotakan 550 orang
berdasarkan hasil Pemilu 1995. Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil
membentuk UUD baru. Pada saat bersamaann, Presiden Soekarno menyampaikan
konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin. Sejak itu diadakanlah pemungutan suara
untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 pemungutan suara yang
dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, namun
terbentur dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah
voting ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang
Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat inilah yang menyebabkan
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat
lembaga ini.
C. Tugas Konstituante
Dewan Konstituante merupakan Lembaga yang sengaja diadakan untuk menyusun
Undang-Undang Dasar yang memiliki wewenang penuh dalam merancang Undang-Undang
Dasar. Ketentuan mengenai susunan, keanggotaan berikut syarat-syaratnya, tugas
dan wewenang diatur dalam Undang-Undang Dasar yang berlaku pada waktu itu,
yakni Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Bahkan bila dalam
keadaan tertentu Konstituante dapat bertindak atas nama Dewan Perwakilan
Rakyat, karena anggota Dewan Konstituante dipilih langsung oleh rakyat seperti
halnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah melalui persiapan yang cukup lama maka pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante dengan jumlah 542 orang. Pelantikan anggota Dewan Konstituante ini diselenggarakan pada tanggal 10 November 1956. Dari 542 anggota. Dewan ini sekitar 80 persen diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia, Partai NU, dan Partai Komunis Indonesia. Sedang sisanya adalah partai kecil dan Anggauta yang tidak berpartai.
Setelah mengadakan sidang-sidangnya sekitar dua tahun Dewan Konstituante macet karena tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar seperti menetapkan dasar negara dan sebagainya. Akhirnya terjadilah Dekrit Presiden RI kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. saat berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara bahwa kewenangan merancang Undang-Undang Dasar terletak di suatu badan yang disebut Konstituante, Komisi Konstitusi diadakan dengan alasan bahwa rumusan amandemen I, II, III, dan IV yang dihasilkan Majelis Permusyawaratan Rakyat masih perlu dikaji secara konprehensif dan transparan.
Setelah melalui persiapan yang cukup lama maka pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante dengan jumlah 542 orang. Pelantikan anggota Dewan Konstituante ini diselenggarakan pada tanggal 10 November 1956. Dari 542 anggota. Dewan ini sekitar 80 persen diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia, Partai NU, dan Partai Komunis Indonesia. Sedang sisanya adalah partai kecil dan Anggauta yang tidak berpartai.
Setelah mengadakan sidang-sidangnya sekitar dua tahun Dewan Konstituante macet karena tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar seperti menetapkan dasar negara dan sebagainya. Akhirnya terjadilah Dekrit Presiden RI kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. saat berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara bahwa kewenangan merancang Undang-Undang Dasar terletak di suatu badan yang disebut Konstituante, Komisi Konstitusi diadakan dengan alasan bahwa rumusan amandemen I, II, III, dan IV yang dihasilkan Majelis Permusyawaratan Rakyat masih perlu dikaji secara konprehensif dan transparan.
D. Pembubaran Konstituante
Anggota konstituante mulai
bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958
belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan
masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD ’45 semakin kuat. Dalam
menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan
sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali
ke UUD ’45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara.
Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun
yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang,
karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan
pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga
gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses
yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Sebelum Republik Indonesia
Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut
pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara
bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur
dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer
E. Lahirnya Dekrit
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno
pada 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil
Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD
’45. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden
Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah
pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang
dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD ’45.
ketika Dekrit Presiden 5
Juli 1959 dibacakan oleh Bung Karno pada pukul 19.00 di Istana Merdeka. Untuk
itu, tidak tanggung-tanggung dilakukan pengerahan massa secara besar-besaran.
Semua bioskop di Jakarta diminta untuk tidak mengadakan pertunjukan pada pukul
14.00-18.00. Padahal, bioskop merupakan hiburan utama rakyat. Dalam pengerahan
massa itu juga, truk-truk milik swasta diminta untuk mengangkut massa rakyat.
Tram yang ketika itu merupakan angkutan kota yang paling banyak mengangkut
masyarakat, juga dikerahkan untuk mengangkut masyarakat tanpa memungut bayaran
alias gratis. Hal yang sama juga diharuskan bagi bus kota. Pokoknya, rakyat
diminta berduyun-duyun ke Monas depan Istana Merdeka.
Pada 5 Juli 1959 pukul
17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekret tersebut
antara lain:
1. Pembubaran Konstituante
Jenderal Nasution, kepala
staf Angkatan Darat, mengeluarkan maklumat mendukung Dekrit Presidan 5 Juli
1959, sekalipun mengeluarkan Perintah Harian yang ia tujukan kepada seluruh
anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Kemudian,
Mahkamah Agung mengeluarkan pernyataan yang membenarkan dekrit tersebut dengan
membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955.
Lima hari setelah Dekrit
Presiden, pada 10 Juli 1959 dilantiklah Kabinet Juanda (Kabinet Karya).
Presiden Soekarno sekaligus sebagai PM dan Juanda sebagai Menteri Pertama.
Kemudian pada 22 Juli 1959, DPR hasil pemilu pertama secara aklamasi menyatakan
kesediaannya untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945. Demokrasi Terpimpin ini
berlangsung hingga terjadinya tragedi G30S/PKI 1965.
Kesimpulan
Konstituante adalah lembaga
negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar atau
konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Bung Karno sebenarnya sejak lama
merasa terusik dengan berlarut-larutnya sidang wakil-wakil rakyat yang bertugas
untuk membuat UUD. Bung Karno merasa tidak sabar karena sidang Konstituante
bertele-tele. Sidang yang berlangsung sejak Oktober 1956, selama dua setengah
tahun belum dapat menghasilkan UUD. Mengingat anggota Konstituante dalam
sidangnya di Bandung terdiri atas puluhan parpol yang sulit dipertemukan.
Apalagi, Pemilu 1955 tidak menghasilkan pemenang mutlak. Akhirnya pada tanggal 5
Juli 1959, Presiden mengeluarkan Dekrit.
WEWENANG
PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN UNDANG-UNDANG SETELAH DEKRIT 5 JULI 1959
Dampak Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden ternyata memiliki beberapa dampak, berikut.
Dekrit Presiden ternyata memiliki beberapa dampak, berikut.
1.
Terbentuknya
lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945, misalnya MPRS dan
DPAS.
2.
Bangsa
Indonesia terhindar dari konflik yang berkepanjangan yang sangat membahayakan
persatuan dan kesatuan.
3.
Kekuatan
militer semakin aktif dan memegang peranan penting dalam percaturan politik di
Indonesia.
4.
Presiden
Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin.
5.
Memberi
kemantapan kekuasaan yang besar kepada presiden, MPR, maupun lembaga tinggi
negara lainnya.
E. Kehidupan Politik pada Masa
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin yang
menggantikan sistem Demokrasi Liberal, berlaku tahun 1959 – 1965. Pada masa
Demokrasi Terpimpin kekuasaan presiden sangat besar sehingga cenderung ke arah
otoriter. Akibatnya sering terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Berikut ini
beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang terjadi semasa
Demokrasi Terpimpin.
1.
Pembentukan
MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
2.
Anggota
MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
3.
Presiden
membubrkan DPR hasil pemilu tahun 1955.
4.
GBHN
yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA bukan oleh MPRS.
5.
Pengangkatan
presiden seumur hidup.
Dalam
periode Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha
menempatkan dirinya sebagai golongan yang Pancasilais. Kekuatan politik pada
Demokrasi Terpimpin terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI
di sampingnya.
Ajaran
Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ciptaan Presiden Soekarno sangat
menguntungkan PKI. Ajaran Nasakom menempatkan PKI sebagai unsur yang sah dalam
konstelasi politik Indonesia. Dengan demikian kedudukan PKI semakin kuat PKI
semakin meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra sebagai
partai yang paling manipolis dan pendukung Bung Karno yang paling setia. Selama
masa Demokrasi Terpimpin, PKI terus melaksanakan program-programnya secara
revolusioner. Bahkan mampu menguasai konstelasi politik. Puncak kegiatan PKI
adalah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah pada tanggal 30 September
1965.
2. Politik Luar Negeri Masa Demokrasi Terpimpin
Politik
luar negeri masa Demokrasi Terpimpin lebih condong ke blok Timur. Indonesia
banyak melakukan kerja sama dengan negara-negara blok komunis, seperti Uni
Soviet, RRC, Kamboja, maupun Vietnam. Berikut ini beberapa contoh pelaksanaan
politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin.
a. Oldefo dan Nefo
Oldefo
(The Old Established Forces), yaitu dunia lama yang sudah mapan ekonominya,
khususnya negara-negara Barat yang kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces),
yaitu negara-negara baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara-negara
kapitalis (blok oldefo) dan menjalin kerja sama dengan negara-negara komunis
(blok nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya Poros Jakarta – Peking
(Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh – Hanoi – Peking – Pyongyang (
Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea Utara).
b. Konfrontasi dengan Malaysia
Pada tahun 1961 muncul rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno karena dianggap sebagai proyek neokolonialisme dan dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia juga muncul dari Filipina yang mengklaim daerah Sabah sebagai wilayah negaranya.
Pada tahun 1961 muncul rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno karena dianggap sebagai proyek neokolonialisme dan dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia juga muncul dari Filipina yang mengklaim daerah Sabah sebagai wilayah negaranya.
Pada
tanggal 9 Juli 1963 Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman menandatangani dokumen
tentang pembentukan Federasi Malaysia. Kemudian, tanggal 16 September 1963
pemerintah Malaya memproklamasikan berdirinya Federasi Malaysia. Menghadapi
tindakan Malaysia tersebut, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada
tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara dua negara putus.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando
Rakyat (Dwikora), isinya:
1.
perhebat
ketahanan revolusi Indonesia,
2.
danbantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei
untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.
Di
tengah situasi konflik Indonesia - Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Masalah ini mendapat reaksi keras dari
Presiden Soekarno. Namun akhirnya Malaysia tetap terpilih sebagai anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB. Terpilihnya Malaysia tersebut mendorong Indonesia
keluar dari PBB. Secara resmi Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari
1965.
WEWENANG PEMERINTAH DALAM PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG SETELAH ERA REFORMASI
Dalam
menjalankan fungsinya Tugas dan wewenang banyak diatur dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945,Tugas dan wewenag
DPR secara lebih rinci diatur dalam pasal 33 ayat (2) No.4 tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang menentukan tugas dan wewenang DPR
sebagai berikut : Dimana pasalnya menjelaskan bahwa presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang berada di tangan presiden. Dari rumusan pasal ini
berarti RUU berasal dari presiden. Dan wewenang DPR adalah membahas secara
bersama-sama RUU yang diajukan oleh presiden kemudian memberi pendapat berupa
penolakan atau persetujuan terhadap RUU untuk disahkan untuk menjadi
undang-undang. DPR juga berhak mengajukan RUU dan kemudian dibahas dan disahkan
secara bersama-sama dengan presiden. Pasal 21 UUD 1945 ini dikenal sebagai hak
inisiatif DPR.
Komentar
Posting Komentar